Sejarah Panjang Perjalanan Sosial Politik Film Horor di Indonesia

Sabtu, 30 Desember 2017 | komentar

Sejarah di Indonesia, masih banyak didudukan sekedar bahan nostalgia belaka, hanya penting untuk sekedar pengungkap kenangan manis masa lalu (Misbach Yusan Biran, 1980:3). Melihat sejarah khusus nya sejarah film sangat sedikit sekali di bahas di ranah Republik Indonesia tercinta ini, jika pun ada mungkin hanya sedikit dan juga hanya beberapa dan luput tak terperhatikan. Film sebagai seni yang lahir terakhir, film tumbuh dengan menyerap penemuan-penemuan yang telah maupun tengah terjadi, baik sains, teknologi dan estetika.

Sejarah Film pertama terjadi di Prancis, tepatnya pada 28 Desember 1895, ketika Lumiere bersaudara telah membuat dunia “terkejut”. Mereka telah melakukan pemutaran film pertama kalinya di depan publik, yakni Cafe de Paris. Film ini adalah tentang para lelaki dan wanita pekerja di pabrik Lumiere, kedatangan kereta api di stasiun La Ciotat, bayi yang sedang menangis dan kapal-kapal yang meninggalkan dermaga.

Sedangkan Sejarah Film di Indonesia dimulai dari orang timur yang mulai bikin film di Hindia Belanda oleh Wong Bersaudara (Nelson Wong, Josua Wong, Othniel Wong), The Teng Chun sebagai Peletak dasar dalam menjadikan usaha pembuatan film sebagai industri yng serius. Kemudian Mannus Franken seorang Peranakan Eropa yang memperkenalkan film sebagai karya seni bersama Albert Balink. Sejak awal abad 20 terdengar dari surat kabar bahwa di mulai nya pemutaran film bioskop yang berisi Bintang Betawi, Jum’at 30 November 1900 menyatakan  ”...bahoewa lagi sedikit hari ija nanti kasi liat tontonan amat bagoes jaitoe gambar-gambar idoep dari banyak hal....”. Dalam surat kabar yang sama terbitan selasa 4 Desember 1900, ada iklan yang berbunyi “... besok hari rebo 5 Desember Pertoendjoekan Besar Jang Pertama di dalam satoe roemah di Tanah Abang kebondjae (MANEGE) moelain poekoel TOEDJOE malem...”.

Melihat Sejarah film di dunia yang beragam, film yang terdiri dari berbagai jenis dan genre kemudian Marx Wilshin yang dimuat dari bukunya Sinema dalam Sejarah Film Horor disampaikan bahwa film Horor pertama di dunia adalah Golem (1920) film berdasarkan legenda Yahudi, Golem adalah patung tanah liat yang dihidupkan untuk melindungi kaum Yahudi, sebagai salah satu monster layar lebar pertama, Golem menginspirasikan monster Frankenstein yang kuat namun tak berakal.

Marx Wilshin membagi jenis film Horor menjadi sebelas jenis film horor yaitu : Orang Gila dan Ganjil, Monster dan Mumi, Vampir, Zombie, Film Kelas B, Mutasi, Setan, Hantu, Makhluk aneh, Pembunuh berantai, Film Slasher. Kemudian ada jenis baru yang merupakan perkembangan dari film Horor itu sendiri Menciptakan Ulang Horor merupakan paduan seimbang antara humor dan percikan darah, yaitu film horor komedi meliputi dari film parodi rumah hantu, seperti The Ghost Breakers (1940), hingga bangkitnya kembali film “pelawak bertemu monster” dalam About and Costello Meet Frankenstein (1948).

Beralih ke Sejarah Film Indonesia, Pada 1941, The Teng Chun membuat Tengkorak Hidoep yang mengisahkan petualangan ke pulau angker bernama pulau Mustika, yang menceritakan para tokohnya yang melakukan perjalanannya ke sebuah pulau, dan dihantui. Tengkorak Hidoep banyak disebut-sebut sebagai film horor Indonesia pertama. Dari catatan Tempo, film ini terpengaruh petualangan eksotis ke rimba belantara ala film Tarzan dengan bintangnya yang populer saat itu. Kisah ekspedisi ke pulau Mustika ini akhirnya menemui suku liar yang tetuanya bisa menjelma jadi jelangkung.

Kusuma (2011:202) mengatakan bahwa sejak kelahirannya, sumber penting dari film-film horor Indonesia adalah cerita rakyat dan legenda lokal, yang sejalan dengan usaha melestarikan nilai-nilai tradisional sebagai salah satu elemen penting dari Indentitas Nasional. Pada waktu itu terjadi perdebatan film horor pertama di Indonesia antara film Tengkorak Hidoep (1920) dengan Lisa (1971), karena ada kesalah pahaman sendiri pada definisi Horor. Menurut Nurudin Asyhadie seperti dikutip dalam artikel Darma Ismayanto yang berjudul “Horor bangkit dari Kubur,” Asyhadie mengkategorikan horor Indonesia ke dalam dua kategori : “horor yang berhubungan dengan hantu” dan “horor kepribadian”. Asyahdie lebih memilih Tengkorak Hidoep sebagai film horor pertama Indoneisa, karena film yang dibahas disini, Jelangkung, juga menghadirkan tokoh supranatural. Kedua, mayoritas penonton Indonesia menganggap sebuah film sebgai film horor yang menampilkan tokoh supranatural. Ismayanto (n.d.) beragumen bahwa horor kepribadian seperti film Lisa tidak terlalu menarik penonton karena mereka melihatnya sebagai “film serius”. Sejak produksi pertamanya hingga hari ini genre horor tetap merupakan genre yang populer bagi penonton Indonesia.

Dalam film horor Indonesia, sifat-sifat monster yang mistis dan tidak dapat diprediksi menjadi sumber ketakutan terbesar penonton. Dalam gaya narasi film Horor Orde Baru, monster dan hantu tersebut merupakan bagian dari penciptaan “narasi besar” untuk memunculkan bahaya dari ketidakaturan. Selain ateisme, komunisme adalah monster atau hantu utama yang dikonstruksi oleh rezim Orde Baru. Rezim ini bergantung pada agama dan ideologi bangsa, pancasila, untuk berhadapan dengan “hantu-hantu” tersebut (Picard, 2011:14). Lima Sila yang  diformalkan oleh para pendiri bangsa ini do eksploitasi oleh rezim Orde Baru yang menjadikan Pancasila seperti “polisi pikiran” gaya Orwellian, khususnya, menurut Sopheie Siddique (2002:27), lewat “asumsi implisit” rezim mengenai sila pertama yang “memaskulinkan Tuhan dan.... Soeharto yang dikonstruksi  sebagai figur Bapak yang berkuasaa”.

Kembali pada Konteks film, lewat gaya narasi yang dipaksakan oleh rezim Orde Baru, film-film horor yang diproduksi secara konstan terus  mengingatkan para penontonnya terhadap ketakutan akan kekacuan jika ketidakteraturan terjadi. Gaya narasi film horor Orde Baru secara jelas mengasosiasikan kekuasaan dan hal-hal baik dengan mereka sendiri (rezim yang berkuasa). Kembalinya keteraturan di akhir narasi seakan-akan menguatkan ideologi rezim yang mengedepankan keteraturan. Pada saat yang sama, secara implisit menuntut adanya kepatuhan publik jika mereka ingin hidup dengan aman dan damai. Kejatuhan rezim Orde Baru tidak menjamin kematian ideologinya, seperti dapat dilihat dalam dinamika politik bangsa pasca-Reformasi yang masih memperlihatkan gaya-gaya kepemimpinan yang masih dipengaruhi oleh ideologi rezim Orde Baru. Sebagai konsekuensinya masyarakat masih hidup di bawah bayang-bayang rezim yang sudah jatuh. Dengan memperlakukan sinema horor sebagai alegori terhadap kondisi ini, film-film horor dapat membantu penonton untuk lebih awas terhadap ancaman laten dari rezim yang telah jatuh, seperti yang di contohkan dalam film Jelangkung yang berakhir tragis untuk para tokoh utamanya. Para monster dan hantu hasil konstruksi yang berfungsi sebagai “instrumen pengawas” dari rezim Orde Baru, sekarang mempresentasikan sang rezim sendiri yang masih terus menghantui.(Anton Sutandio, 2016 : 8 – 9).

Lisa yang kata nya film horor pertama Indonesia ini yang ingin menggantikan Tengkorak Hidoep, film ini bercerita tentang Ibu tiri (Rahayu EFfendi) ingin membunuh anak suaminya yang telah meninggal, demi mengangkangi hartanya dan melicinkan hubungannya dengan sopirnya, Harun (Sophan Sophiaan). Mula-mula disuruhnya Budi (Sukarno M. Noor) untuk membunuh sang anak itu, Lisa (Lenny Marlina), dengan bayaran 10 juta. Budi gagal dan lalu dibunuh oleh ibu tiri itu sendiri. Lalu disuruhnya dr. Santo (Wahid Chan) dengan bayaran sama. Oleh Santo yang ternyata baik hati, Lisa hanya dipingsankan dan upahnya digunakan untuk memelihara Lisa dan bayinya, hasil hubungan Lisa dengan Harun. Ibu tiri yang merasa telah bisa menguasai seluruh warisan, malah terteror bayangan Lisa. Ketakutan ini begitu hebat, hingga ketika Lisa kembali ke rumah pun, ketakutan itu tak kunjung hilang, bahkan sang ibu tiri terjun ke jurang. Dilihat dari cerita film ini lebih menggambar masalah keluarga dan psikologis ketimbang dengan horor sebenarnya yang benar-benar menampakan objek horornya seperti setan, hantu dan monster.

Di tahun 1971 tahunnya produksi film Lisa, Misbach Yusan Biran keluar dari dunia film karena dia tidak sanggup dan tidak ingin melihat karena pada waktu ada usaha dari beberapa orang untuk mengembangkan industri film porno di Indonesia, sejak saat itu Misbach Yusan Biran Terpaksa keluar dari dunia Film yang sangat dia cintai.

Dalam hal membingkai zaman, film-film horor juga memiliki pola-pola yang menarik untuk ditelusuri. Di Indonesia, kita bisa melihat dua zaman yang cukup kontras, yakni era Orde Baru dan Reformasi. Perbedaan situasi sosial-politik dua era tersebut ternyata melahirkan film horor yang berbeda. Baik itu pada level kemasan, maupun pada gagasannya. Untuk mempermudah mengidentifikasi perbedaan tersebut, kita bisa mengambil salah satu elemen yang mewakili, yakni latar tempat film berlangsung. Di sini, kita berbicara tentang desa dan kota. Film horor Indonesia tahun 1970 sampai akhir 1980, lekat dengan kisah yang berlatarkan pedesaan (Paramita, 2016). Ratu Ilmu Hitam (1981) dan Bayi Ajaib (1982) adalah contoh film dari rentang waktu tersebut. Mereka memberi gambaran betapa lekatnya masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan dengan hal-hal berbau takhayul. Alhasil, dalam kemunculan konfliknya, kejadian mistis bukan menjadi suatu hal yang terlalu mengejutkan bagi tokoh-tokoh di film. (https://jurnalruang.com/read/1475221425-setan-orde-baru-dan-setan-reformasi di akses tanggal 30 Desmber 2017, 22:00)


Awal 1980, film horor Indonesia mulai marak diproduksi, dengan karakter utama antara lain Ratu Laut Selatan Nyi Roro Kidul, Sundel Bolong, hingga Ratu Ular yang disebut-sebut sebagai anak Ratu Laut Selatan. Setan perempuan Indonesia tersebut kerap dimunculkan dengan tampilan khas, seiring konteks sosial yang mengiringi. Pada beberapa mitos, perempuan menjelma menjadi hantu ketika ia mati penasaran dan hendak balas dendam. Mereka yang mati karena diperkosa dan dibunuh, misalnya, akan berubah menjadi kuntilanak, lalu mengejar dan menguntit laki-laki yang telah menodai dan merenggut nyawanya.
Seakan tak cukup ditampilkan seram, tak berdaya, dan hanya bisa melawan saat sudah mati, setan perempuan kerap dihadirkan menjelma manusia--dengan tampilan seksi dan sensual, bahkan hobi menggoda pria yang akan ia jadikan korban.
Pada 1981 misalnya, film Leak--atau dikenal juga dengan judul Mystic in Bali--menjadi salah salah satu film horor Indonesia yang mendapat perhatian masyarakat. Bercerita tentang perempuan Amerika yang hendak mempelajari dunia ilmu hitam di Bali, kisah ini memunculkan karakter hantu “Ratu” Leak yang menyeramkan dan menyebar teror kematian kepada masyarakat desa. Sebagai film horor yang diproduksi pada awal 1980-an, Leak dianggap cukup menakutkan dan menarik--tanpa harus menampilkan perempuan berpakaian minim. Gladwin dalam tulisannya pun menyebutkan, Leak muncul sebagai film horor aseksual alias tanpa sedikit pun adegan berbau seks disematkan dalam cerita. Ini, salah satunya, terkait sensor konten untuk film Indonesia. Pada periode 1980 awal tersebut, Badan Sensor Film (BSF) disebut menyeleksi ketat konten yang boleh ditonton masyarakat.
Pada periode inilah Ratu Horor Suzanna mulai muncul dan menjadi karakter setan perempuan yang melegenda. Dalam film Nyi Blorong Putri Nyi Loro Kidul (1982) besutan Sisworo Gautama Putra, Suzanna tampil sebagai Ratu Ular. Karakternya digambarkan sebagai seorang perempuan cantik, memiliki kekuatan besar, sangat ditakuti, dan berhati licik. Jangan berani sembarangan berurusan dengannya. (https://kumparan.com/@kumparanhits/membedah-wajah-setan-perempuan-dalam-film-horor-indonesia diakses tanggal 30 Desember 2017, 22:08).

Masuk ke era Reformasi, horor mulai berpindah tempat—seperti mayoritas penduduk di negeri ini, film horor juga melakukan urbanisasi. Sekalipun ada film horor pada era Reformasi yang mengambil latar pedesaan, protagonis biasanya tetap berasal dari wilayah urban (kehadirannya hanya sebagai turis), contohnya adalah Keramat (2009), Tuyul (2015), dan Kampung Zombie (2015). Walaupun begitu, umumnya, film-film horor era Reformasi lebih berfokus di kota. Ambil contoh film Mirror (2005) dan Kesurupan (2008). Mirror bercerita tentang dilema anak SMA terhadap kemampuannya yang dapat membaca ajal seseorang lewat pantulan cermin. Sementara itu, Kesurupan mengisahkan tentang fenomena—tentu saja—kesurupan yang mengancam nyawa beberapa mahasiswa berduit yang iseng bermain boneka misterius. Keduanya sama-sama mengambil latar di kota.

Berbeda dengan Ratu Ilmu Hitam dan Bayi Ajaib, film horor kota macam Mirror dan Kesurupan tidak memperlihatkan sebuah ancaman terhadap kelompok masyarakat besar. Kehadiran arwah penasaran biasanya hanya menyerang sekelompok kecil orang, atau bahkan individu. Tidak ada ancaman kalau kota akan hancur apabila kekuatan mistis tersebut menang. Ancamannya bersifat mikro. Ketegangan di film horror era Reformasi lebih menyangkut pada nasib protagonis dalam film—apakah masih bernafas atau tidak sebelum credit title keluar. Bukan seperti film horor Orde Baru, yang ketegangannya adalah nasib desa secara keseluruhan. (https://jurnalruang.com/read/1475221425-setan-orde-baru-dan-setan-reformasi diakses tanggal 30 Desember 2017, 22:15).

Beda film horor era Orde Baru dan Reformasi, yang terwakili oleh pilihan latar ceritanya, memantik pembacaan lebih lanjut seputar semangat kedua fase politik tersebut. Contohnya, kita bisa lihat bagaimana visi Orde Baru memengaruhi sedikit banyak film horor Indonesia. Pemerintah Orde Baru mendoktrin masyarakat agar menjunjung Pancasila serta mendukung rencana pembangunannya dilakukan di segala sisi, termasuk di bidang perfilman. Hal ini diwujudkan melalui Pola Dasar Pembinaan Perfilman dan Pengembangan Perfilman Nasional atau P4N yang dirumuskan Dewan Film Nasional pada 1980 (Prayogo, 2009).

Hasilnya, film-film nasional yang diproduksi harus bersifat “kultural edukatif”. Ini kemudian dapat terlihat dari bagaimana film horor menggunakan latar dan masyarakat pedesaan. Kekuatan mistis, yang masih dipercaya oleh penduduk desa dalam film, menjadi metafor akan kebiasaan kuno yang pada akhirnya memberi mereka malapetaka. Hal ini harus dibenahi oleh orang dari kota atau kalau tidak sosok kiai, sebagai sosok penyelamat desa yang sedang huru hara. Orang kota itu memiliki pendidikan tinggi dan dapat dipastikan mengembalikan kedamaian masyarakat desa. Sedangkan kiai kerap kali menjadi simbol dari agama yang diposisikan sebagai solusi untuk masalah-masalah keseharian. Tampak kemudian, kita mulai mengarah ke modernisme, namun pada saat yang bersamaan tetap menekankan nilai-nilai keagamaan. . (https://jurnalruang.com/read/1475221425-setan-orde-baru-dan-setan-reformasi diakses tanggal 30 Desember 2017, 22:21).

Berbeda dengan film horor pada Orde Baru, film horor pada Reformasi banyak mengambil setting kota. Absennya kontrol ketat pemerintah soal film membuat film-film horor pada era Reformasi bisa dibilang lebih dipengaruhi faktor pasar. Landasan pemilihan kota dapat ditarik akarnya ke dua unsur, salah satunya adalah karakter-karakter utama yang mayoritas remaja. Penyebab dari hal ini adalah maraknya gaya narasi bercerita film-film horor Thailand dan Jepang yang sedang ramai diperbincangkan pada waktu yang sama (Saputra, 2016). Akar yang kedua, adalah pengangkatan cerita legenda urban yang tidak asing terdengar di telinga masyarakat. Hantu Jeruk Purut garapan Nayato Fio Nuala adalah penggagas konsep tersebut pada era Reformasi dengan 700 ribu penontonnya (Siahaan, 2007). Hingga kemudian muncul judul-judul seperti Mall Klender, Lawang Sewu, atau Terowongan Casablanca. Kedua akar ini seperti memiliki pesan yang sama, film horor Indonesia pada era Reformasi cenderung bersifat reaktif terhadap pasar. Namun, bukan berarti film horor era Orde Baru memiliki sifat yang berlawanan. Film periode tersebut juga mempertimbangkan pasar, tapi dengan cara berbeda, yakni melalui pemilihan pemeran yang dinilai dapat menarik minat masyarakat untuk pergi menonton. Perlu dilihat bagaimana Suzanna terus menerus dipilih sebagai sosok sentral di layar film-film horor pada kala itu. Hal ini sungguh lazim, mengingat film horor yang ia mainkan selalu berada di tangga box office film Indonesia dalam raihan jumlah penonton (Ardan dalam Lutfi, 2013). Ia bahkan menjadi kultus yang sampai sekarang menjadi simbol horor negeri ini dan masih belum memiliki pengganti. Terlepas dari variabel Suzanna yang menyebabkan horor di era Orde Baru juga bersifat reaktif, memang tidak bisa disangkal bahwa film-film yang ditampilkan di layar bioskop komersial kebanyakan merupakan sebuah komoditas. Namun, adanya pengaruh pemerintah pada konten film horor pada era Orde Baru sepertinya tidak bisa ditampik. Pesan-pesan pembangunan tampak berusaha diselipkan melalui simbol-simbol dalam bentuk hidup atau mati. Sebaliknya pada era Reformasi, hal itu tidak lagi menjadi kewajiban para pembuat film horor kita. Ada kebebasan dalam berkreasi meski masih ada fungsi filter yang dipegang oleh lembaga sensor. Namun, sepertinya itu bukan jadi alasan utama sebab masih kurangnya varian film horor di negeri ini. (https://jurnalruang.com/read/1475221425-setan-orde-baru-dan-setan-reformasi diakses tanggal 30 Desember 2017, 22:40).

Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan film Horor di Indonesia ini sangat berpengaruh dari Implementasi pemerintahan Orde Baru 1996-1998. Film Horor yang bernuansa mistik yang mengakat mitos lokalitas daerah kemudian di bumbui dengan adegan panas yang menjadikan bawa film Horor ini menjadi Horor Seks, yang kebanyakan menjadikan tubuh sensualitas wanita sebagai dasar pemuas dari film Horor itu sendiri , yang dimana itu merugikan wanita dalam sinema yang diindentikan dengan Kekerasan, Horor, dan Seks pada tahun 1970an-1980an. Seperti yang terjadi pada film horor yang tren pada tahun belakangan ini yaitu Air Terjun Pengantin dan Arwah Goyang Krawang yang menggunakan Aktris yang tidak ragu-ragu untuk menonjolkan seksualitas mereka seperti Julia Peres dan Dewi Persik.






Refrensi :

Misbach Yusan Biran, Festival Film Indonesia 1980 Semarang, Film Indonesia 1900-1980, Sinematek Indonesia, Semarang : 1980.

Misbach Yusan Biran, Sejarah Film Indonesia 1900-1950 Bikin Film di Jawa, Komunitas Bambu, Jakarta : 2009.

Mark Wilshin, Sinema dalam Sejarah Horor, KPG, Jakarta : 2010.

Anton Sutandio, Sinema Horor Kontemporer Indonesia, Penerbit Ombak, Yogyakarta : 2016.











Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Manusia Berpikir - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger