Problem Perempuan dan Penari dalam Film Lintang Ayu (2017)

Sabtu, 10 November 2018 | komentar




Film pendek Lintang Ayu (2017) karya Rai Dwi Purnama Dewi merupakan mahasiswa jurusan Televisi dan Film di Institut Seni Indonesia Denpasar Bali. Jenis filmnya fiksi dan bergenre drama. Tokoh utama dalam film ini adalah Lintang Ayu perempuan kembang desa yang juga seorang penari, Terkenal dengan penari terjegeg (cantik) di desanya. Narasinya sederhana, seorang kembang desa yang cantik dan pandai penari menjadi pusat perhatian masyarakat desa, kemudian terjadi konflik eksternal dan internal sendiri pada Lintang Ayu.
Dimulai dengan menggunakan plot flashback sebuah cerita yang sesungguhnya terjadi di masa lalu tetapi justru mulai diceritakan hari ini. Bermula dari seorang nini (nenek) mewariskan gelungan (sanggul) jogednya kepada sang cucu, Gendis dan kemudian bercerita tentang masa lalunya. Pada awal flashback telah diperlihatkan hubungan antara si kembang desa dengan seorang lelaki yang dicintainya. Terjadi dialog antara Lintang Ayu dan Bagus yang menanyakan  tentang kepulangan Bagus selanjutnya. Berlanjut ke scene menampilkan lanskap kebudayaan Bali dimana perempuan dipagi hari sembahyang dengan membawa canang (sesaji) dan berdoa di pura sekitar.  Lintang Ayu mendapatkan cuitan dari lelaki sekitar sebelum pergi beribadah, datang Girang setelah Lintang Ayu mau pergi, kemudian menanyakan dan mempermasalahkan hubungan Lintang Ayu dengan Bagus, muncul tokoh Sekar yang melihat dengan tampang kesal dari belakang pada saat Lintang Ayu dan Girang berbicara, bisa dilihat ini adalah kecemburuan sosial terhadap tokoh yang terlihat sempurna dimana orang lain berusaha untuk mencari kesalahan untuk menjelek-jelekannya.
Budaya Bali adalah budaya patriarki, dimana lelaki menjadi otoritas utama yang sentral dalam segala bentuk organisasi sosial, termasuk keluarga. Singkatnya, para lelaki Bali memiliki keunggulan otoritas dalam berbagai bidang, seperti penentuan garis keturunan patrilineal ekslusif, hak waris, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik, politik atau agama, dan lain-lain.[1]  maka para orang tua memberikan perhatian khusus di bidang pendidikan dan pengajaran kepada anak perempuan sejak kecil. Tradisi turun temurun pada lingkungan keluarga Hindu misalnya seorang anak perempuan harus lebih rajin dari anak lelaki. Ia bangun pagi lebih awal, menyapu halaman, membersihkan piring, merebus air, menyediakan sarapan, mesaiban (persembahan setelah makan) , memandikan adik-adik, dan yang terakhir barulah mengurus dirinya sendiri. Ia harus pula bisa memasak nasi, mejejaitan (sarana persembahyangan dari daun kelapa atau janur), mebebantenan (sarana persembahayangan dari bauah-buahan), menjama beraya (gotong royong), dan banyak lagi hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan adat dan agama.[2]
Datang kabar meninggalnya Bagus membuat Lintang Ayu menjadi sangat tersiksa muncul konflik batin karena dia bingung dengan keadaan yang hamil dan merasa tidak mendapat dukungan dari orang tua. Lintang Ayu tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri karena dia perempuan yang lemah di bawah kuasa ayahnya. Awal muncul konflik sosial terhadap Lintang Ayu dengan masyarakat desa, dibawa oleh gosip yang disebar oleh Girang temannya Lintang Ayu sendiri karena Girang menceritakan pada Sekar, dari Sekar ini lah gosip tersebar menjalar ditambah dengan ibunya Sekar kemudian menceritakan isu gosip yang tak sengaja di dengarnya pada saat selesai bekerja disawah dan beristirahat  . Tersebarna gosip sehingga memunculkan stigma negatif pada Lintang Ayu. Menurunkan marwahnya sebagai penari utama dalam joged bumbung yang akan dilaksanakan setelah panen.[3] Gosip ini merupakan alat politik Sekar nantinya.
Budaya gosip antara Perempuan yang saling menggosip ini seakan budaya nya masyarakat Indonesia menembus batas antara desa ataupun kota, tidak ada sekat-sekat pembatasan lagi perempuan desa yang dikenal dengan perempuan berbudi luhur dan polos menjadi sama saja dengan keadaan perempuan di perkotaan berkat pengaruh perkembangan teknologi informasi dalam globalisasi dunia saat ini. Tidak bisa dinafikan juga pada saat masyarakat nusantara saat itu sebelum datang dan datang kolonialisme bangsa Eropa yang membawa budaya dan mempengaruhi budaya lokal dan pemikiran adat istiadat itu sendiri.
Film ini menempatkan gambaran zaman di mana budaya bali masih sangat kental dan joged bumbung itu sangat terhormat. Sehingga para perempuan berebut untuk menjadi penari utama dan perempuan yang dapat menjadi penari utama akan merasa bangga. Konflik puncak terjadi saat Sekar mengambil kesempatan untuk menjatuhkan Lintang Ayu dengan mempermalukan Lintang Ayu saat insiden perutnya yang tersenggol pada saat menari dengan mengatakan joged beling (joged hamil). Hal ini membuat Lintang Ayu menjadi sangat menderita dan memberikan aib terbesar sehingga keluarganya mengusirnya.
Perkembangannya berbeda dengan jaman sekarang dimana joged bumbung ini tidak lagi tari yang terhormat dimana joged bumbung ini hanya dianggap tari erotis, dan mengobjektifikasi perempuan dan tari joged bumbung itu sendiri dan kehilangan makna aslinya sebagai tari hiburan dan pergaulan.
Film ini berakhir dengan selesainya flashback, dimana sang nenek yaitu Lintang Ayu yang mengajarkan cucu nya Gendis menari joged bumbung menggambarkan regenerasi kesenian pada keturunan. Dapat di tangkap ini merupakan upaya pembuat film untuk menunjukkan dedikasi seorang seniman dimana walaupun seorang seniman mendapat suatu masalah yang besar dalam hidupnya, tidak menghentikan dirinya untuk terus berkarya dalam berkesenian khususnya seni tari joged bumbung itu sendiri. Ditemukan oleh Meguel Covarrubias  Antropolog Asal Meksiko dalam bukunya Island of Bali mengatakan bahwa hampir setiap manusia Bali itu adalah seniman. Dengan demikian ditengah kehidupan masyarakat Bali pada umumnya, hasrat berkesenian tumbuh dan berkembang walaupun di terpah zaman.





[3] Joged bumbung adalah tari hiburan dan merupakan tari pergaulan yang dilakukan  dalam sebuah perayaan seperti panen, acara pernikahan, upacara syukuran dll. Dilihat dari perspketif sejarah Joged Bumbung yang diperkirakan muncul di daerah Bali Utara (Buleleng) pada tahun 1946. Mengikuti pengklasifikasian tari menurut zamannya (Puspasari Seni Tari Bali oleh Prof. I Wayan Dibia), berarti tari Joged Bumbung merupakan sebuah tari pergaulan yang tergolong berkembang di zaman modern atau lebih dikenal dengan nama zaman Bali baru. Zaman ini menurut Bapak I Wayan Dibia berlangsung sejak jatuhnya Bali ke tangan Belanda, yakni dari awal abad ke-20 (1908)  hingga sekarang. Sehingga dapat ditarik benang merah, bahwa dari sinilah terjadinya akulturasi budaya dengan masuknya pengaruh budaya Barat yang cenderung lebih mengungkapkan keluwesan dan kebebasan dalam berekspresi, tanpa menghilangkan kebudayaan aslinya.







Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Manusia Berpikir - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger