Merawat Memori Bangsa Melalui Film

Minggu, 15 September 2019 | komentar



Film merupakan karya seni, film lahir dari perkembangan teknologi dan kebudayaan oleh umat manusia. Film yang merupakan karya seni adalah seni yang menangkap hampir semua aspek kesenian dengan kemajuan teknologi yang dikembangkan oleh manusia. Film memainkan peran penting sebagai media komunikas massa yang berfungsi sebagai pusat informarsi, edukasi, hiburan dan juga propagada barangkali. Film adalah produk budaya, karena film merekam atau mengabadikan suatu keadaan jiwa zaman yang hidup, melalui gambar bergerak yang bisa kita lihat, kita dengar sebagai karya audio visual pandang dan dengar, film menjadi sebuah objek sumber sejarah, karena dia selalu merekam peristiwa dari masa ke masa melalui produksi film baik itu film dokumenter atau film cerita, semua mengandung makna yang bisa di interprestasikan dan di kaji untuk masa yang akan datang maupun kontemporer. Indonesia telah banyak melahirkan film dimulai saat negara ini masih dijajah oleh Kolonial Hindia Belanda. Film yang dibuat era kolonial pertama kali di buat oleh orang Eropa dan Cina, tetapi mengambil unsur dan cerita lokal yang ada di Nusantara dan juga penyerapan unsur cerita asing kemudian di buat versi lokalnya (Nusantara). Film di Indonesia yang berkembang pada wauktu itu di Batavia (Jakarta) terus menyebar, keseluruh daerah perkotaan dan perkampungan yang ada, semua orang tertarik dengan fenomena gambar bergerak (moving picture).
Film sebagai seni yaitu menangkap sebuah peristiwa. Seni sebagai peristiwa. Ya, ini sebuah perspektif yang menarik dan menantang untuk melihat seni. Peristiwa! Suatu ungkapan yang menunjuk suatu kejadian yang tidak bisa kita maknai sepenuhnya namun justru karena itu kita ingin kembali ke sana terus-menerus. Peristiwa menjadi titik tolak dan referensi hidup manusia. Hidup kita sehari-hari—baik pribadi maupun kolektif, entah sadar atau tidak senantiasa bertitik  tolak dari suatu peristiwa dan senantiasa menanti peristiwa-peristiwa baru.[1] sebuah peristiwa yang tertangkap layar kamera menjadi abadi, karena kamera film menjadi alat yang mumpuni karena semua unsur masuk, film merekam suatu kebudayaan manusia yang hidup bisa dilhat lagi. Film kemudian menjadi ingatan memori. Film adalah memori sosial kolektif, mereka di produksi di tonton oleh banyak orang pada masa kemudian suatu saat bisa menjadi Vintage[2] yang dirindukan bahkan di puja berbeda aspresiasinya di masa lalu. Memori film adalah sejarah publik bagi masyarakat.
Pada tanggal 11 September 1933 di Rangkas Bitung, Lebak, Banten lahir seorang anak manusia yang pada masa akan datang menjadi manusia yang peduli dengan kebudayaan. Manusia ini bernama H. Misbach Yusa Biran, anak dari keluarga Digoelis yang dibuang di Pulau Buru, Papua. Ayah adalah pemberontak berideologi sosialis dari Padang Panjang  sedangkan Ibunya adalah anak dari pejuang bangsawan Banten yang berani melawan Belanda. Hidup dilingkungan orang pergerakan membuat pemikiran H. Misbach Yusa Biran berbeda dengan anak-anak seumurnya pada masa itu, di tambah lagi beliau bersekolah di Taman Siswa sekolah yang terkenal dengan pendekatan belajar dan kesenian. H. Misbach Yusa Biran memiliki kedekatan dengan seni sejak dini, disaat anak muda belum senang fotografi dia sudah memulai belajar fotografi, membuat sandiwara menjadi sutradara, menulis sajak dan resensi film.
Pada waktu itu Film menjadi bahan hiburan dan alat dagang, untuk mencari uang semata oleh para pembuat film dari etnis Cina dan Eropa saja. Muncul Pribumi Usmar Ismail yang melihat film bukan hanya alat hiburan untuk uang saja, film bisa berfungsi sebagai kampanye ideologi Nasionalisme. Saat itu perlu pemahaman Indonesia sebagai Nation (bangsa) karena baru lepas dari Jepang dan Merdeka serta usai dari pendudkan Belanda kembali melalui Agresi Militer. Indonesia membutuhkan corong penyampai informasi bahwa Indonesia adalah bangsa bebas dan Merdeka. Film terus berkembang makin banyak bermacam jenis dan genre, lahir sutradara baru tak terkecuali H. Misbach Yusa Biran, yang sempat menjadi asisten sutradara Usmar Ismail. H. Misbach terus bergerak di bidang perfilman setelah lepas dari Studio Perfini yang dibangun Usmar Ismail, antara lain membuat skenario dan menyutradarai film, salah satu filmnya yang terkenal yaitu Di Balik Cahaya Gemerlapan (1967). H. Misbach Yusa Biran berhenti dari membuat film sebagai protesnya terhadap  dunia film tahun 70an yang banyak memproduksi film porno, H. Misbach berhasil memproduksi film Tauhid di Mekah sebagai film terakhirnya sebelum pensiun dari dunia film. H. Misbach Yusa Biran menyadari bahwa Film ini adalah harta karun kebudayaan bangsa, karena film adalah bagian dari Sejarah masyarakat Indonesia, kemuidan H. Misbach Yusa Biran merintis sebuah Arsip Film yang bernama Sinematek Indonesia. Sinematek Indonesia diriintis sejak Januari 1971 dalam lingkungan LPKJ atau IKJ sekarang, Sinematek ini di beri nama Pusat Dokumentasi film, pada awal bukan mengarsip film, tapi hanya menghimpun dokumen-dokuemn film untuk kepentingan penulisan sejarah film Indonesia dan bahan ajar untuk di Institutut Kesenian Jakarta. Arsip film baru muncul tahun 1973, setelah mendapat orientasi di Belanda dan Eropa. Sejak tahun 1973 lembaga ini ambil bagian dalam ajang Festival Film Indonesia(FFI) dan membuat Pameran Sejarah Film Indonesia. Baru pada 20 Oktober 1975 berdirilah Sinematek Indonesia (SI) dengan SK Gubernur DKI oleh Ali Sadikin. SI berkedudukan di gedung Pusat Perfilman H. Usmar Ismail. SI merupakan bagian utama Pusat Perfilman ini, bagian lain digunakan sebagai fasilitas ruangan sekretariat ogranisasi perfilman dan Yayasan Artis Film. Sinematek Indonesia menjadi lembaga arsip film pertama di Asia Tenggara. Pada tahun 1978 SI bergabung dalam FIAF (Federation Internasionale des Archives du Film), dan merupakan arsip film pertama dari Asia yang tergabung dalam Asosiasi Internasional. SI menjadi tempat belajar dan ziarah bagi akademisi, seniman, dan rakyat biasa untuk melihat sejarah  budaya film Indonesia, melihat kebudayaan melalui pantulan layar putih.






[1] St. Sunardi, Seni Sebagai Peristiwa (Evakuasi Subyek), Kalam 27 / 2015.
Esai ini disampaikan dalam diskusi Seni sebagai Peristiwa: Pengalaman Indonesia 20 Tahun Terakhir di Serambi Salihara, Selasa, 05 Februari 2013.
[2] Dalam hal desain, vintage umumnya mengacu pada benda atau benda buatan yang mewakili atau berasal dari periode waktu sebelumnya

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Manusia Berpikir - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger