Sejarah
di Indonesia, masih banyak didudukan sekedar bahan nostalgia belaka, hanya
penting untuk sekedar pengungkap kenangan manis masa lalu (Misbach Yusan Biran,
1980:3). Melihat sejarah khusus nya sejarah film sangat sedikit sekali di bahas
di ranah Republik Indonesia tercinta ini, jika pun ada mungkin hanya sedikit
dan juga hanya beberapa dan luput tak terperhatikan. Film sebagai seni yang
lahir terakhir, film tumbuh dengan menyerap penemuan-penemuan yang telah maupun
tengah terjadi, baik sains, teknologi dan estetika.
Sejarah
Film pertama terjadi di Prancis, tepatnya pada 28 Desember 1895, ketika Lumiere
bersaudara telah membuat dunia “terkejut”. Mereka telah melakukan pemutaran
film pertama kalinya di depan publik, yakni Cafe
de Paris. Film ini adalah tentang para lelaki dan wanita pekerja di pabrik Lumiere, kedatangan kereta api di
stasiun La Ciotat, bayi yang sedang
menangis dan kapal-kapal yang meninggalkan dermaga.
Sedangkan
Sejarah Film di Indonesia dimulai dari orang timur yang mulai bikin film di
Hindia Belanda oleh Wong Bersaudara (Nelson Wong, Josua Wong, Othniel Wong), The Teng Chun sebagai Peletak dasar
dalam menjadikan usaha pembuatan film sebagai industri yng serius. Kemudian
Mannus Franken seorang Peranakan Eropa yang memperkenalkan film sebagai karya
seni bersama Albert Balink. Sejak awal abad 20 terdengar dari surat kabar bahwa
di mulai nya pemutaran film bioskop yang berisi Bintang Betawi, Jum’at 30
November 1900 menyatakan ”...bahoewa lagi sedikit hari ija nanti kasi
liat tontonan amat bagoes jaitoe gambar-gambar idoep dari banyak hal....”.
Dalam surat kabar yang sama terbitan selasa 4 Desember 1900, ada iklan yang
berbunyi “... besok hari rebo 5 Desember
Pertoendjoekan Besar Jang Pertama di dalam satoe roemah di Tanah Abang
kebondjae (MANEGE) moelain poekoel TOEDJOE malem...”.
Melihat
Sejarah film di dunia yang beragam, film yang terdiri dari berbagai jenis dan
genre kemudian Marx Wilshin yang dimuat dari bukunya Sinema dalam Sejarah Film
Horor disampaikan bahwa film Horor pertama di dunia adalah Golem (1920) film berdasarkan legenda Yahudi, Golem adalah patung tanah liat yang dihidupkan untuk melindungi
kaum Yahudi, sebagai salah satu monster layar lebar pertama, Golem
menginspirasikan monster Frankenstein yang kuat namun tak berakal.
Marx
Wilshin membagi jenis film Horor menjadi sebelas jenis film horor yaitu : Orang
Gila dan Ganjil, Monster dan Mumi, Vampir, Zombie, Film Kelas B, Mutasi, Setan,
Hantu, Makhluk aneh, Pembunuh berantai, Film Slasher. Kemudian ada jenis baru
yang merupakan perkembangan dari film Horor itu sendiri Menciptakan Ulang Horor
merupakan paduan seimbang antara humor dan percikan darah, yaitu film horor
komedi meliputi dari film parodi rumah hantu, seperti The Ghost Breakers (1940), hingga bangkitnya kembali film “pelawak
bertemu monster” dalam About and Costello
Meet Frankenstein (1948).
Beralih
ke Sejarah Film Indonesia, Pada 1941, The
Teng Chun membuat Tengkorak Hidoep yang mengisahkan petualangan ke pulau
angker bernama pulau Mustika, yang menceritakan para tokohnya yang melakukan
perjalanannya ke sebuah pulau, dan dihantui. Tengkorak Hidoep banyak
disebut-sebut sebagai film horor Indonesia pertama. Dari catatan Tempo, film
ini terpengaruh petualangan eksotis ke rimba belantara ala film Tarzan dengan
bintangnya yang populer saat itu. Kisah ekspedisi ke pulau Mustika ini akhirnya
menemui suku liar yang tetuanya bisa menjelma jadi jelangkung.
Kusuma
(2011:202) mengatakan bahwa sejak kelahirannya, sumber penting dari film-film horor
Indonesia adalah cerita rakyat dan legenda lokal, yang sejalan dengan usaha
melestarikan nilai-nilai tradisional sebagai salah satu elemen penting dari
Indentitas Nasional. Pada waktu itu terjadi perdebatan film horor pertama di Indonesia
antara film Tengkorak Hidoep (1920) dengan Lisa (1971), karena ada kesalah
pahaman sendiri pada definisi Horor. Menurut Nurudin Asyhadie seperti dikutip
dalam artikel Darma Ismayanto yang berjudul “Horor bangkit dari Kubur,”
Asyhadie mengkategorikan horor Indonesia ke dalam dua kategori : “horor yang
berhubungan dengan hantu” dan “horor kepribadian”. Asyahdie lebih memilih
Tengkorak Hidoep sebagai film horor pertama Indoneisa, karena film yang dibahas
disini, Jelangkung, juga menghadirkan tokoh supranatural. Kedua, mayoritas
penonton Indonesia menganggap sebuah film sebgai film horor yang menampilkan
tokoh supranatural. Ismayanto (n.d.) beragumen bahwa horor kepribadian seperti
film Lisa tidak terlalu menarik penonton karena mereka melihatnya sebagai “film
serius”. Sejak produksi pertamanya hingga hari ini genre horor tetap merupakan
genre yang populer bagi penonton Indonesia.
Dalam
film horor Indonesia, sifat-sifat monster yang mistis dan tidak dapat
diprediksi menjadi sumber ketakutan terbesar penonton. Dalam gaya narasi film
Horor Orde Baru, monster dan hantu tersebut merupakan bagian dari penciptaan
“narasi besar” untuk memunculkan bahaya dari ketidakaturan. Selain ateisme,
komunisme adalah monster atau hantu utama yang dikonstruksi oleh rezim Orde
Baru. Rezim ini bergantung pada agama dan ideologi bangsa, pancasila, untuk berhadapan
dengan “hantu-hantu” tersebut (Picard, 2011:14). Lima Sila yang diformalkan oleh para pendiri bangsa ini do
eksploitasi oleh rezim Orde Baru yang menjadikan Pancasila seperti “polisi
pikiran” gaya Orwellian, khususnya, menurut Sopheie Siddique (2002:27), lewat
“asumsi implisit” rezim mengenai sila pertama yang “memaskulinkan Tuhan dan....
Soeharto yang dikonstruksi sebagai figur
Bapak yang berkuasaa”.
Kembali
pada Konteks film, lewat gaya narasi yang dipaksakan oleh rezim Orde Baru,
film-film horor yang diproduksi secara konstan terus mengingatkan para penontonnya terhadap
ketakutan akan kekacuan jika ketidakteraturan terjadi. Gaya narasi film horor
Orde Baru secara jelas mengasosiasikan kekuasaan dan hal-hal baik dengan mereka
sendiri (rezim yang berkuasa). Kembalinya keteraturan di akhir narasi
seakan-akan menguatkan ideologi rezim yang mengedepankan keteraturan. Pada saat
yang sama, secara implisit menuntut adanya kepatuhan publik jika mereka ingin
hidup dengan aman dan damai. Kejatuhan rezim Orde Baru tidak menjamin kematian
ideologinya, seperti dapat dilihat dalam dinamika politik bangsa
pasca-Reformasi yang masih memperlihatkan gaya-gaya kepemimpinan yang masih
dipengaruhi oleh ideologi rezim Orde Baru. Sebagai konsekuensinya masyarakat
masih hidup di bawah bayang-bayang rezim yang sudah jatuh. Dengan memperlakukan
sinema horor sebagai alegori terhadap kondisi ini, film-film horor dapat
membantu penonton untuk lebih awas terhadap ancaman laten dari rezim yang telah
jatuh, seperti yang di contohkan dalam film Jelangkung yang berakhir tragis
untuk para tokoh utamanya. Para monster dan hantu hasil konstruksi yang
berfungsi sebagai “instrumen pengawas” dari rezim Orde Baru, sekarang mempresentasikan
sang rezim sendiri yang masih terus menghantui.(Anton Sutandio, 2016 : 8 – 9).
Lisa yang kata nya film horor pertama Indonesia ini yang ingin menggantikan Tengkorak Hidoep, film ini bercerita tentang Ibu tiri (Rahayu EFfendi) ingin membunuh anak suaminya yang telah meninggal, demi mengangkangi hartanya dan melicinkan hubungannya dengan sopirnya, Harun (Sophan Sophiaan). Mula-mula disuruhnya Budi (Sukarno M. Noor) untuk membunuh sang anak itu, Lisa (Lenny Marlina), dengan bayaran 10 juta. Budi gagal dan lalu dibunuh oleh ibu tiri itu sendiri. Lalu disuruhnya dr. Santo (Wahid Chan) dengan bayaran sama. Oleh Santo yang ternyata baik hati, Lisa hanya dipingsankan dan upahnya digunakan untuk memelihara Lisa dan bayinya, hasil hubungan Lisa dengan Harun. Ibu tiri yang merasa telah bisa menguasai seluruh warisan, malah terteror bayangan Lisa. Ketakutan ini begitu hebat, hingga ketika Lisa kembali ke rumah pun, ketakutan itu tak kunjung hilang, bahkan sang ibu tiri terjun ke jurang. Dilihat dari cerita film ini lebih menggambar masalah keluarga dan psikologis ketimbang dengan horor sebenarnya yang benar-benar menampakan objek horornya seperti setan, hantu dan monster.
Di
tahun 1971 tahunnya produksi film Lisa, Misbach Yusan Biran keluar dari dunia film
karena dia tidak sanggup dan tidak ingin melihat karena pada waktu ada usaha
dari beberapa orang untuk mengembangkan industri film porno di Indonesia, sejak
saat itu Misbach Yusan Biran Terpaksa keluar dari dunia Film yang sangat dia
cintai.
Dalam
hal membingkai zaman, film-film horor juga memiliki pola-pola yang menarik
untuk ditelusuri. Di Indonesia, kita bisa melihat dua zaman yang cukup kontras,
yakni era Orde Baru dan Reformasi. Perbedaan situasi sosial-politik dua era
tersebut ternyata melahirkan film horor yang berbeda. Baik itu pada level
kemasan, maupun pada gagasannya. Untuk mempermudah mengidentifikasi perbedaan
tersebut, kita bisa mengambil salah satu elemen yang mewakili, yakni latar
tempat film berlangsung. Di sini, kita berbicara tentang desa dan kota. Film
horor Indonesia tahun 1970 sampai akhir 1980, lekat dengan kisah yang
berlatarkan pedesaan (Paramita, 2016). Ratu Ilmu Hitam (1981) dan Bayi Ajaib
(1982) adalah contoh film dari rentang waktu tersebut. Mereka memberi gambaran
betapa lekatnya masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan dengan hal-hal
berbau takhayul. Alhasil, dalam kemunculan konfliknya, kejadian mistis bukan
menjadi suatu hal yang terlalu mengejutkan bagi tokoh-tokoh di film. (https://jurnalruang.com/read/1475221425-setan-orde-baru-dan-setan-reformasi
di akses tanggal 30 Desmber 2017, 22:00)
Awal
1980, film horor Indonesia mulai marak diproduksi, dengan karakter utama antara
lain Ratu Laut Selatan Nyi Roro Kidul, Sundel Bolong, hingga Ratu Ular yang
disebut-sebut sebagai anak Ratu Laut Selatan. Setan perempuan Indonesia
tersebut kerap dimunculkan dengan tampilan khas, seiring konteks sosial yang
mengiringi. Pada beberapa mitos, perempuan menjelma menjadi hantu ketika ia
mati penasaran dan hendak balas dendam. Mereka yang mati karena diperkosa dan
dibunuh, misalnya, akan berubah menjadi kuntilanak, lalu mengejar dan menguntit
laki-laki yang telah menodai dan merenggut nyawanya.
Seakan
tak cukup ditampilkan seram, tak berdaya, dan hanya bisa melawan saat sudah
mati, setan perempuan kerap dihadirkan menjelma manusia--dengan tampilan seksi
dan sensual, bahkan hobi menggoda pria yang akan ia jadikan korban.
Pada
1981 misalnya, film Leak--atau dikenal juga dengan judul Mystic in Bali--menjadi
salah salah satu film horor Indonesia yang mendapat perhatian masyarakat.
Bercerita tentang perempuan Amerika yang hendak mempelajari dunia ilmu hitam di
Bali, kisah ini memunculkan karakter hantu “Ratu” Leak yang menyeramkan dan
menyebar teror kematian kepada masyarakat desa. Sebagai film horor yang
diproduksi pada awal 1980-an, Leak dianggap cukup menakutkan dan menarik--tanpa
harus menampilkan perempuan berpakaian minim. Gladwin dalam tulisannya pun
menyebutkan, Leak muncul sebagai film horor aseksual alias tanpa sedikit pun
adegan berbau seks disematkan dalam cerita. Ini, salah satunya, terkait sensor
konten untuk film Indonesia. Pada periode 1980 awal tersebut, Badan Sensor Film
(BSF) disebut menyeleksi ketat konten yang boleh ditonton masyarakat.
Pada
periode inilah Ratu Horor Suzanna mulai muncul dan menjadi karakter setan
perempuan yang melegenda. Dalam film Nyi Blorong Putri Nyi Loro Kidul (1982)
besutan Sisworo Gautama Putra, Suzanna tampil sebagai Ratu Ular. Karakternya
digambarkan sebagai seorang perempuan cantik, memiliki kekuatan besar, sangat
ditakuti, dan berhati licik. Jangan berani sembarangan berurusan dengannya. (https://kumparan.com/@kumparanhits/membedah-wajah-setan-perempuan-dalam-film-horor-indonesia
diakses tanggal 30 Desember 2017, 22:08).
Masuk
ke era Reformasi, horor mulai berpindah tempat—seperti mayoritas penduduk di
negeri ini, film horor juga melakukan urbanisasi. Sekalipun ada film horor pada
era Reformasi yang mengambil latar pedesaan, protagonis biasanya tetap berasal
dari wilayah urban (kehadirannya hanya sebagai turis), contohnya adalah Keramat
(2009), Tuyul (2015), dan Kampung Zombie (2015). Walaupun begitu, umumnya,
film-film horor era Reformasi lebih berfokus di kota. Ambil contoh film Mirror
(2005) dan Kesurupan (2008). Mirror bercerita tentang dilema anak SMA terhadap
kemampuannya yang dapat membaca ajal seseorang lewat pantulan cermin. Sementara
itu, Kesurupan mengisahkan tentang fenomena—tentu saja—kesurupan yang mengancam
nyawa beberapa mahasiswa berduit yang iseng bermain boneka misterius. Keduanya
sama-sama mengambil latar di kota.
Berbeda
dengan Ratu Ilmu Hitam dan Bayi Ajaib, film horor kota macam Mirror dan
Kesurupan tidak memperlihatkan sebuah ancaman terhadap kelompok masyarakat
besar. Kehadiran arwah penasaran biasanya hanya menyerang sekelompok kecil
orang, atau bahkan individu. Tidak ada ancaman kalau kota akan hancur apabila
kekuatan mistis tersebut menang. Ancamannya bersifat mikro. Ketegangan di film
horror era Reformasi lebih menyangkut pada nasib protagonis dalam film—apakah
masih bernafas atau tidak sebelum credit title keluar. Bukan seperti film horor
Orde Baru, yang ketegangannya adalah nasib desa secara keseluruhan. (https://jurnalruang.com/read/1475221425-setan-orde-baru-dan-setan-reformasi
diakses tanggal 30 Desember 2017, 22:15).
Beda
film horor era Orde Baru dan Reformasi, yang terwakili oleh pilihan latar
ceritanya, memantik pembacaan lebih lanjut seputar semangat kedua fase politik
tersebut. Contohnya, kita bisa lihat bagaimana visi Orde Baru memengaruhi
sedikit banyak film horor Indonesia. Pemerintah Orde Baru mendoktrin masyarakat
agar menjunjung Pancasila serta mendukung rencana pembangunannya dilakukan di
segala sisi, termasuk di bidang perfilman. Hal ini diwujudkan melalui Pola
Dasar Pembinaan Perfilman dan Pengembangan Perfilman Nasional atau P4N yang
dirumuskan Dewan Film Nasional pada 1980 (Prayogo, 2009).
Hasilnya,
film-film nasional yang diproduksi harus bersifat “kultural edukatif”. Ini
kemudian dapat terlihat dari bagaimana film horor menggunakan latar dan
masyarakat pedesaan. Kekuatan mistis, yang masih dipercaya oleh penduduk desa
dalam film, menjadi metafor akan kebiasaan kuno yang pada akhirnya memberi
mereka malapetaka. Hal ini harus dibenahi oleh orang dari kota atau kalau tidak
sosok kiai, sebagai sosok penyelamat desa yang sedang huru hara. Orang kota itu
memiliki pendidikan tinggi dan dapat dipastikan mengembalikan kedamaian
masyarakat desa. Sedangkan kiai kerap kali menjadi simbol dari agama yang
diposisikan sebagai solusi untuk masalah-masalah keseharian. Tampak kemudian,
kita mulai mengarah ke modernisme, namun pada saat yang bersamaan tetap
menekankan nilai-nilai keagamaan. . (https://jurnalruang.com/read/1475221425-setan-orde-baru-dan-setan-reformasi
diakses tanggal 30 Desember 2017, 22:21).
Berbeda
dengan film horor pada Orde Baru, film horor pada Reformasi banyak mengambil
setting kota. Absennya kontrol ketat pemerintah soal film membuat film-film
horor pada era Reformasi bisa dibilang lebih dipengaruhi faktor pasar. Landasan
pemilihan kota dapat ditarik akarnya ke dua unsur, salah satunya adalah
karakter-karakter utama yang mayoritas remaja. Penyebab dari hal ini adalah maraknya
gaya narasi bercerita film-film horor Thailand dan Jepang yang sedang ramai
diperbincangkan pada waktu yang sama (Saputra, 2016). Akar yang kedua, adalah
pengangkatan cerita legenda urban yang tidak asing terdengar di telinga
masyarakat. Hantu Jeruk Purut garapan Nayato Fio Nuala adalah penggagas konsep
tersebut pada era Reformasi dengan 700 ribu penontonnya (Siahaan, 2007). Hingga
kemudian muncul judul-judul seperti Mall Klender, Lawang Sewu, atau Terowongan
Casablanca. Kedua akar ini seperti memiliki pesan yang sama, film horor
Indonesia pada era Reformasi cenderung bersifat reaktif terhadap pasar. Namun,
bukan berarti film horor era Orde Baru memiliki sifat yang berlawanan. Film
periode tersebut juga mempertimbangkan pasar, tapi dengan cara berbeda, yakni
melalui pemilihan pemeran yang dinilai dapat menarik minat masyarakat untuk
pergi menonton. Perlu dilihat bagaimana Suzanna terus menerus dipilih sebagai
sosok sentral di layar film-film horor pada kala itu. Hal ini sungguh lazim,
mengingat film horor yang ia mainkan selalu berada di tangga box office film
Indonesia dalam raihan jumlah penonton (Ardan dalam Lutfi, 2013). Ia bahkan
menjadi kultus yang sampai sekarang menjadi simbol horor negeri ini dan masih
belum memiliki pengganti. Terlepas dari variabel Suzanna yang menyebabkan horor
di era Orde Baru juga bersifat reaktif, memang tidak bisa disangkal bahwa
film-film yang ditampilkan di layar bioskop komersial kebanyakan merupakan
sebuah komoditas. Namun, adanya pengaruh pemerintah pada konten film horor pada
era Orde Baru sepertinya tidak bisa ditampik. Pesan-pesan pembangunan tampak
berusaha diselipkan melalui simbol-simbol dalam bentuk hidup atau mati.
Sebaliknya pada era Reformasi, hal itu tidak lagi menjadi kewajiban para
pembuat film horor kita. Ada kebebasan dalam berkreasi meski masih ada fungsi
filter yang dipegang oleh lembaga sensor. Namun, sepertinya itu bukan jadi
alasan utama sebab masih kurangnya varian film horor di negeri ini. (https://jurnalruang.com/read/1475221425-setan-orde-baru-dan-setan-reformasi
diakses tanggal 30 Desember 2017, 22:40).
Jadi
dapat disimpulkan bahwa perkembangan film Horor di Indonesia ini sangat
berpengaruh dari Implementasi pemerintahan Orde Baru 1996-1998. Film Horor yang
bernuansa mistik yang mengakat mitos lokalitas daerah kemudian di bumbui dengan
adegan panas yang menjadikan bawa film Horor ini menjadi Horor Seks, yang
kebanyakan menjadikan tubuh sensualitas wanita sebagai dasar pemuas dari film
Horor itu sendiri , yang dimana itu merugikan wanita dalam sinema yang
diindentikan dengan Kekerasan, Horor, dan Seks pada tahun 1970an-1980an.
Seperti yang terjadi pada film horor yang tren pada tahun belakangan ini yaitu
Air Terjun Pengantin dan Arwah Goyang Krawang yang menggunakan Aktris yang
tidak ragu-ragu untuk menonjolkan seksualitas mereka seperti Julia Peres dan
Dewi Persik.
Refrensi
:
Misbach Yusan Biran, Festival Film
Indonesia 1980 Semarang, Film Indonesia 1900-1980, Sinematek Indonesia,
Semarang : 1980.
Misbach Yusan Biran, Sejarah Film
Indonesia 1900-1950 Bikin Film di Jawa, Komunitas Bambu, Jakarta : 2009.
Mark Wilshin, Sinema dalam Sejarah
Horor, KPG, Jakarta : 2010.
Anton Sutandio, Sinema Horor Kontemporer
Indonesia, Penerbit Ombak, Yogyakarta : 2016.
Posting Komentar