Film merupakan karya seni, film
lahir dari perkembangan teknologi dan kebudayaan oleh umat manusia. Film yang
merupakan karya seni adalah seni yang menangkap hampir semua aspek kesenian
dengan kemajuan teknologi yang dikembangkan oleh manusia. Film memainkan peran
penting sebagai media komunikas massa yang berfungsi sebagai pusat informarsi,
edukasi, hiburan dan juga propagada barangkali. Film adalah produk budaya,
karena film merekam atau mengabadikan suatu keadaan jiwa zaman yang hidup,
melalui gambar bergerak yang bisa kita lihat, kita dengar sebagai karya audio
visual pandang dan dengar, film menjadi sebuah objek sumber sejarah, karena dia
selalu merekam peristiwa dari masa ke masa melalui produksi film baik itu film
dokumenter atau film cerita, semua mengandung makna yang bisa di
interprestasikan dan di kaji untuk masa yang akan datang maupun kontemporer.
Indonesia telah banyak melahirkan film dimulai saat negara ini masih dijajah
oleh Kolonial Hindia Belanda. Film yang dibuat era kolonial pertama kali di
buat oleh orang Eropa dan Cina, tetapi mengambil unsur dan cerita lokal yang
ada di Nusantara dan juga penyerapan unsur cerita asing kemudian di buat versi
lokalnya (Nusantara). Film di Indonesia yang berkembang pada wauktu itu di
Batavia (Jakarta) terus menyebar, keseluruh daerah perkotaan dan perkampungan
yang ada, semua orang tertarik dengan fenomena gambar bergerak (moving
picture).
Film sebagai seni yaitu menangkap
sebuah peristiwa. Seni sebagai peristiwa. Ya, ini sebuah perspektif yang
menarik dan menantang untuk melihat seni. Peristiwa! Suatu ungkapan yang
menunjuk suatu kejadian yang tidak bisa kita maknai sepenuhnya namun justru
karena itu kita ingin kembali ke sana terus-menerus. Peristiwa menjadi titik
tolak dan referensi hidup manusia. Hidup kita sehari-hari—baik pribadi maupun
kolektif, entah sadar atau tidak senantiasa bertitik tolak dari suatu peristiwa dan senantiasa
menanti peristiwa-peristiwa baru.[1]
sebuah peristiwa yang tertangkap layar kamera menjadi abadi, karena kamera film
menjadi alat yang mumpuni karena semua unsur masuk, film merekam suatu
kebudayaan manusia yang hidup bisa dilhat lagi. Film kemudian menjadi ingatan
memori. Film adalah memori sosial kolektif, mereka di produksi di tonton oleh banyak
orang pada masa kemudian suatu saat bisa menjadi Vintage[2]
yang dirindukan bahkan di puja berbeda aspresiasinya di masa lalu. Memori film
adalah sejarah publik bagi masyarakat.
Pada tanggal 11 September 1933 di
Rangkas Bitung, Lebak, Banten lahir seorang anak manusia yang pada masa akan datang
menjadi manusia yang peduli dengan kebudayaan. Manusia ini bernama H. Misbach
Yusa Biran, anak dari keluarga Digoelis yang dibuang di Pulau Buru, Papua. Ayah
adalah pemberontak berideologi sosialis dari Padang Panjang sedangkan Ibunya adalah anak dari pejuang
bangsawan Banten yang berani melawan Belanda. Hidup dilingkungan orang
pergerakan membuat pemikiran H. Misbach Yusa Biran berbeda dengan anak-anak
seumurnya pada masa itu, di tambah lagi beliau bersekolah di Taman Siswa
sekolah yang terkenal dengan pendekatan belajar dan kesenian. H. Misbach Yusa
Biran memiliki kedekatan dengan seni sejak dini, disaat anak muda belum senang
fotografi dia sudah memulai belajar fotografi, membuat sandiwara menjadi
sutradara, menulis sajak dan resensi film.
Pada waktu itu Film menjadi bahan
hiburan dan alat dagang, untuk mencari uang semata oleh para pembuat film dari
etnis Cina dan Eropa saja. Muncul Pribumi Usmar Ismail yang melihat film bukan
hanya alat hiburan untuk uang saja, film bisa berfungsi sebagai kampanye ideologi
Nasionalisme. Saat itu perlu pemahaman Indonesia sebagai Nation (bangsa) karena
baru lepas dari Jepang dan Merdeka serta usai dari pendudkan Belanda kembali
melalui Agresi Militer. Indonesia membutuhkan corong penyampai informasi bahwa Indonesia
adalah bangsa bebas dan Merdeka. Film terus berkembang makin banyak bermacam jenis
dan genre, lahir sutradara baru tak terkecuali H. Misbach Yusa Biran, yang
sempat menjadi asisten sutradara Usmar Ismail. H. Misbach terus bergerak di
bidang perfilman setelah lepas dari Studio Perfini yang dibangun Usmar Ismail,
antara lain membuat skenario dan menyutradarai film, salah satu filmnya yang
terkenal yaitu Di Balik Cahaya Gemerlapan (1967). H. Misbach Yusa Biran berhenti
dari membuat film sebagai protesnya terhadap dunia film tahun 70an yang banyak memproduksi film
porno, H. Misbach berhasil memproduksi film Tauhid di Mekah sebagai film terakhirnya
sebelum pensiun dari dunia film. H. Misbach Yusa Biran menyadari bahwa Film ini
adalah harta karun kebudayaan bangsa, karena film adalah bagian dari Sejarah
masyarakat Indonesia, kemuidan H. Misbach Yusa Biran merintis sebuah Arsip Film
yang bernama Sinematek Indonesia. Sinematek Indonesia diriintis sejak Januari 1971
dalam lingkungan LPKJ atau IKJ sekarang, Sinematek ini di beri nama Pusat
Dokumentasi film, pada awal bukan mengarsip film, tapi hanya menghimpun dokumen-dokuemn
film untuk kepentingan penulisan sejarah film Indonesia dan bahan ajar untuk di
Institutut Kesenian Jakarta. Arsip film baru muncul tahun 1973, setelah mendapat
orientasi di Belanda dan Eropa. Sejak tahun 1973 lembaga ini ambil bagian dalam
ajang Festival Film Indonesia(FFI) dan membuat Pameran Sejarah Film Indonesia.
Baru pada 20 Oktober 1975 berdirilah Sinematek Indonesia (SI) dengan SK
Gubernur DKI oleh Ali Sadikin. SI berkedudukan di gedung Pusat Perfilman H. Usmar
Ismail. SI merupakan bagian utama Pusat Perfilman ini, bagian lain digunakan
sebagai fasilitas ruangan sekretariat ogranisasi perfilman dan Yayasan Artis
Film. Sinematek Indonesia menjadi lembaga arsip film pertama di Asia Tenggara. Pada
tahun 1978 SI bergabung dalam FIAF (Federation Internasionale des Archives du
Film), dan merupakan arsip film pertama dari Asia yang tergabung dalam
Asosiasi Internasional. SI menjadi tempat belajar dan ziarah bagi akademisi,
seniman, dan rakyat biasa untuk melihat sejarah budaya film Indonesia, melihat kebudayaan
melalui pantulan layar putih.
[1] St.
Sunardi, Seni Sebagai Peristiwa (Evakuasi Subyek), Kalam 27 / 2015.
Esai ini disampaikan dalam diskusi Seni sebagai
Peristiwa: Pengalaman Indonesia 20 Tahun Terakhir di Serambi Salihara, Selasa,
05 Februari 2013.
[2] Dalam hal desain, vintage umumnya mengacu pada benda atau
benda buatan yang mewakili atau berasal dari periode waktu sebelumnya
Posting Komentar