Yusuf Kurniawan
Mahasiswa Jurusan
Sejarah Universitas Andalas
Ketika kita
berbicara tentang seni, maka yang terlebih dahulu dibicarakan adalah keindahan.
Sudah menjadi fitrahnya manusia menyukai keindahan. Seorang ibu akan lebih
berbahagia jikalau ia dikaruniai anak yang indah fisiknya, baik rupa ataupun
jasmaninya. Seseorang akan lebih memilih rumah yang indah serta mengenakan
pakaian-pakaian yang indah ketimbang semua itu dalam kondisi biasa-biasa saja
ataupun buruk. Demikian halnya dengan nyanyian, puisi, syair, sajak, yang
juga melambangkan keindahan, maka manusia pun akan menyukainya.[1]
Seni adalah anugerah terindah yang diberi oleh
Allah, seni berasal dari hasil budi daya atau cipta rasa dari manusia untuk
memenuhi kebutuhan hasrat hidupnya. Seni
menunjukan hasil ekspresi Manusia diwujudkan dalam bentuk sebuah karya yang
kreatif berupa Ekstetik (harmonisasi) dan Artistik (daya tarik). Allah itu indah dan menyukai keindahan.
Inilah prinsip yang didoktrinkan Nabi saw., kepada para sahabatnya. Ibnu Mas’ud
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda
“Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya
terbetik sifat sombong seberat atom.” Ada orang berkata,” Sesungguhnya
seseorang senang berpakaian bagus dan bersandal bagus.” Nabi bersabda,”
Sesungguhnya Allah Maha Indah, menyukai keindahan. Sedangkan sombong adalah
sikap menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim).[2]
Pada awal Kemerdekaan Republik Indonesia, Seni
yang berkemang adalah seni rupa. Kebanyakan merupakan poster-poster politik dan
propaganda perjuangan. Salah satu poster yang cukup populer saat itu berbunyi:
“Boeng Ayo Boeng”, merupakan karya kolaborasi Affandi dan Chairil Anwar. Bila
pada masa pendudukan Jepang para seniman dilanda ketakutan untuk
mengekspresikan keinginan merdekanya melalui karya seni mereka karena tentara
Jepang sewaktu-waktu akan menciduk mereka, maka di masa ini mereka lebih bebas
berekspresi. Pada masa Revolusi fisik memperjuangkan dan mempertahankan
kemerdekaan antara 1945-1950 seniman-seniman terkemuka dari Jakarta dan Bandung
banyak pindah ke Yogyakarta. Pada masa ini walaupun mengalami gejolak sosial dan
politik, seniman modern Indonesia mulai menemukan identitas profesinya.
Organisasi dan sanggar seni budaya bermunculan di berbagai wilayah di Jawa,
seperti: Yogya, Surakarta, Bandung, Jakarta, serta di Sumatera, seperti di
Medan dan Bukittinggi. [3]
Tema kehidupan perjuangan dan keinginan
mendokumentasikannya melalui karya seni banyak ditemukan pada masa ini. Setelah
perjuangan kemerdekaan tercapai dan revolusi fisik yang menyertainya telah
terlampaui. Kondisi sosial politik rakyat Indonesia kembali bergejolak terutama
untuk mencari stabilitas dan untuk memenuhi segala kebutuhan yang porak-poranda
akibat revolusi. Pemerintahan masih mengalami perubahan-perubahan, dan rakyat
kadang terabaikan. Berdasarkan kebijakan politik saat itu muncullah banyak
partai. Salah satunya adalah Partai Komunis Indonesia, dengan Joebaar Ajoeb
sebagai Sekretaris Umum nya. Sebagai salah satu partai politik yang cukup kuat
pada masa itu, PKI memiliki beberapa organisasi yang berafiliasi di bawahnya.
Untuk bidang kebudayaan berdirilah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17
Agustur 1950. Lekra berkembang sangat pesat dan menjadi organisasi yang populer
di antara organisasi-organisasi budaya lain yang berafiliasi pada organisasi
politik pada masa itu, seperti : Lembaga Kebudayaan Nasional (afiliasi Partai
Nasional Indonesia) Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (afiliasi Partai
Nadhatul Ulama) Lembaga Kebudayaan Kristen Indonesia (afiliasi Partai Kristen
Indonesia).[4]
“Lesbumi” (Lembaga seniman budayawan muslimin
Indonesia) merupakan lembaga seni-budaya yang di usung oleh NU pada tahun
1950-1960-an. Di lembaga itu para seniman dan budayawan muslim NU berkumpul.
Lembaga ini sempat stagnan hingga pasca pemerintahan Soeharto. Lesbumi
kembali dihadirkan melalui Muktamar NU ke-30 (1999) dan ke-31 (2004) . Apa yang
dilakukan NU merupakan bagian dari semangat kembali ke Khittah 1926 yang
menggelindingkan trilogi transformasi: sosio-politik, sosio-kultural dan
sosio-ekonomi. Fakta historis ini membedakan kehadiran Lesbumi selama hampir
satu dasawarsa terakhir dengan kelahiran awalnya pada dekade 1960-an.[5]
Sejalan dengan penegasan itu, Ketua Lesbumi Al-Zastrow
mengatakan, keinginan menghadirkan kembali Lesbumi antara lain juga dilandasi
oleh keprihatinan akan fenomena kering dan sepinya agama dari sentuhan
kebudayaan sehingga yang tampak adalah penampilan agama yang sangar dan beku,
tidak memiliki kelenturan-kelenturan. Agama tidak lagi merupakan sesuatu yang
hidup dan bahkan tidak lagi memberi kenyamanan bagi pemeluknya.[6]
Agama dewasa ini, demikian menurut Al-Zastrow, terjebak
dalam ritualisme, simbolisme dan formalisme. Dimensi-dimensi kebudayaan dan
kesenian sebagai pilar dari sikap kemanusiaan yang sebetulnya tak dapat
dipisahkan dari agama itu hilang. Agama berjalan mengisi kemanusiaan tanpa ada
sentuhan-sentuhan budaya sehingga terkesan kering, keras, dan kaku.[7]
Atas keprihatinan inilah, maka Lesbumi akan membentuk
dewan kebudayaan yang terdiri dari para budayawan, pemikir, intelektual yang
memiliki perhatian terhadap masalah kebudayaan Indonesia dan juga seniman dalam
segala bentuknya. Lesbumi ingin memberikan peran atau memfasilitasi kesenian
yang sifatnya menumbuhkan kreatifitas masyarakat. Program utamanya adalah,
melakukan dokumentasi terhadap kesenian masyarakat, bahkan yang langka dan
hampir hilang.[8]
NU – dengan mempertimbangkan historisitas Lesbumi –
sudah pasti memiliki basis massa pelaku yang terdiri dari seniman dan
budayawan. Oleh sebab itu, NU seharusnya mempunyai perhatian khusus pada dunia
seni dan budaya serta menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para
seniman dan budayawan tersebut.
`Penegasan ini berarti menempatkan warga NU untuk
bergumul dengan keprihatinan-keprihatinan yang dihadapi oleh seniman dan
budayawan sekaligus mencari jawab atasnya. Konsekuensinya adalah NU harus
memperkaya bahtsul masail kebudayaan dan kesenian yang dapat memberikan jawaban
atas persoalan-persoalan itu.
Kehadiran
Lesbumi, dengan demikian, dapat memberikan alternatif baru dalam berkesenian
dengan memberikan tempat bagi unsur keagamaan (Islam) setara dengan kebudayaan
melalui sebuah ‘kontestasi’ seni budaya ketimbang sebuah ‘pertarungan politik’.
Konteks sejarah ini yang membedakan wajah baru Lesbumi dengan masa awal
kelahirannya pada dekade 1960-an. Sikap ‘tengah-tengah’ (moderat) tampaknya
coba ditempuh oleh Lesbumi senada dengan garis ideologi Ahlussunnah wal Jama’ah
(Aswaja) yang menjadi landasan sosial-keagamaan NU, organisasi induknya.
Kepustakaan
Choirotun Chisan. Lesbumi
Strategi Politik Kebudayaan. Lkis. Yogyakarta : 2008
https://id.wikipedia.org/wiki/Lesbumi
[1]
Yahyaayyash, https://yahyaayyash.wordpress.com/2008/05/31/seni-dalam-islam/ diakses tanggal 20 April 2018, jam 00.30
[2]
Ibid
[3]
https://www.facebook.com/pg/anaksalemba49/photos/?tab=album&album_id=431278080345899
[4]
Ibid
[5]
https://id.wikipedia.org/wiki/Lesbumi
[6]
Ibid
[7]
Ibid
[8]
Ibid
Posting Komentar