LESBUMI KETIKA KAUM MUSLIM BERKESENIAN

Senin, 16 Juli 2018 | komentar


Yusuf Kurniawan
Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Andalas

Ketika kita berbicara tentang seni, maka yang terlebih dahulu dibicarakan adalah keindahan. Sudah menjadi fitrahnya manusia menyukai keindahan. Seorang ibu akan lebih berbahagia jikalau ia dikaruniai anak yang indah fisiknya, baik rupa ataupun jasmaninya. Seseorang akan lebih memilih rumah yang indah serta mengenakan pakaian-pakaian yang indah ketimbang semua itu dalam kondisi biasa-biasa saja ataupun  buruk. Demikian halnya dengan nyanyian, puisi, syair, sajak, yang juga melambangkan keindahan, maka manusia pun akan menyukainya.[1]

Seni adalah anugerah terindah yang diberi oleh Allah, seni berasal dari hasil budi daya atau cipta rasa dari manusia untuk memenuhi kebutuhan hasrat hidupnya.  Seni menunjukan hasil ekspresi Manusia diwujudkan dalam bentuk sebuah karya yang kreatif berupa Ekstetik (harmonisasi) dan Artistik (daya tarik).  Allah itu indah dan menyukai keindahan. Inilah prinsip yang didoktrinkan Nabi saw., kepada para sahabatnya. Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda
“Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terbetik sifat sombong seberat atom.” Ada orang berkata,” Sesungguhnya seseorang senang berpakaian bagus dan bersandal bagus.” Nabi bersabda,” Sesungguhnya Allah Maha Indah, menyukai keindahan. Sedangkan sombong adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim).[2]
Pada awal Kemerdekaan Republik Indonesia, Seni yang berkemang adalah seni rupa. Kebanyakan merupakan poster-poster politik dan propaganda perjuangan. Salah satu poster yang cukup populer saat itu berbunyi: “Boeng Ayo Boeng”, merupakan karya kolaborasi Affandi dan Chairil Anwar. Bila pada masa pendudukan Jepang para seniman dilanda ketakutan untuk mengekspresikan keinginan merdekanya melalui karya seni mereka karena tentara Jepang sewaktu-waktu akan menciduk mereka, maka di masa ini mereka lebih bebas berekspresi. Pada masa Revolusi fisik memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan antara 1945-1950 seniman-seniman terkemuka dari Jakarta dan Bandung banyak pindah ke Yogyakarta. Pada masa ini walaupun mengalami gejolak sosial dan politik, seniman modern Indonesia mulai menemukan identitas profesinya. Organisasi dan sanggar seni budaya bermunculan di berbagai wilayah di Jawa, seperti: Yogya, Surakarta, Bandung, Jakarta, serta di Sumatera, seperti di Medan dan Bukittinggi. [3]
Tema kehidupan perjuangan dan keinginan mendokumentasikannya melalui karya seni banyak ditemukan pada masa ini. Setelah perjuangan kemerdekaan tercapai dan revolusi fisik yang menyertainya telah terlampaui. Kondisi sosial politik rakyat Indonesia kembali bergejolak terutama untuk mencari stabilitas dan untuk memenuhi segala kebutuhan yang porak-poranda akibat revolusi. Pemerintahan masih mengalami perubahan-perubahan, dan rakyat kadang terabaikan. Berdasarkan kebijakan politik saat itu muncullah banyak partai. Salah satunya adalah Partai Komunis Indonesia, dengan Joebaar Ajoeb sebagai Sekretaris Umum nya. Sebagai salah satu partai politik yang cukup kuat pada masa itu, PKI memiliki beberapa organisasi yang berafiliasi di bawahnya. Untuk bidang kebudayaan berdirilah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustur 1950. Lekra berkembang sangat pesat dan menjadi organisasi yang populer di antara organisasi-organisasi budaya lain yang berafiliasi pada organisasi politik pada masa itu, seperti : Lembaga Kebudayaan Nasional (afiliasi Partai Nasional Indonesia) Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (afiliasi Partai Nadhatul Ulama) Lembaga Kebudayaan Kristen Indonesia (afiliasi Partai Kristen Indonesia).[4]
“Lesbumi” (Lembaga seniman budayawan muslimin Indonesia) merupakan lembaga seni-budaya yang di usung oleh NU pada tahun 1950-1960-an. Di lembaga itu para seniman dan budayawan muslim NU berkumpul. Lembaga ini sempat stagnan hingga pasca pemerintahan Soeharto. Lesbumi kembali dihadirkan melalui Muktamar NU ke-30 (1999) dan ke-31 (2004) . Apa yang dilakukan NU merupakan bagian dari semangat kembali ke Khittah 1926 yang menggelindingkan trilogi transformasi: sosio-politik, sosio-kultural dan sosio-ekonomi. Fakta historis ini membedakan kehadiran Lesbumi selama hampir satu dasawarsa terakhir dengan kelahiran awalnya pada dekade 1960-an.[5]
Sejalan dengan penegasan itu, Ketua Lesbumi Al-Zastrow mengatakan, keinginan menghadirkan kembali Lesbumi antara lain juga dilandasi oleh keprihatinan akan fenomena kering dan sepinya agama dari sentuhan kebudayaan sehingga yang tampak adalah penampilan agama yang sangar dan beku, tidak memiliki kelenturan-kelenturan. Agama tidak lagi merupakan sesuatu yang hidup dan bahkan tidak lagi memberi kenyamanan bagi pemeluknya.[6]
Agama dewasa ini, demikian menurut Al-Zastrow, terjebak dalam ritualisme, simbolisme dan formalisme. Dimensi-dimensi kebudayaan dan kesenian sebagai pilar dari sikap kemanusiaan yang sebetulnya tak dapat dipisahkan dari agama itu hilang. Agama berjalan mengisi kemanusiaan tanpa ada sentuhan-sentuhan budaya sehingga terkesan kering, keras, dan kaku.[7]
Atas keprihatinan inilah, maka Lesbumi akan membentuk dewan kebudayaan yang terdiri dari para budayawan, pemikir, intelektual yang memiliki perhatian terhadap masalah kebudayaan Indonesia dan juga seniman dalam segala bentuknya. Lesbumi ingin memberikan peran atau memfasilitasi kesenian yang sifatnya menumbuhkan kreatifitas masyarakat. Program utamanya adalah, melakukan dokumentasi terhadap kesenian masyarakat, bahkan yang langka dan hampir hilang.[8]
NU – dengan mempertimbangkan historisitas Lesbumi – sudah pasti memiliki basis massa pelaku yang terdiri dari seniman dan budayawan. Oleh sebab itu, NU seharusnya mempunyai perhatian khusus pada dunia seni dan budaya serta menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para seniman dan budayawan tersebut.
`Penegasan ini berarti menempatkan warga NU untuk bergumul dengan keprihatinan-keprihatinan yang dihadapi oleh seniman dan budayawan sekaligus mencari jawab atasnya. Konsekuensinya adalah NU harus memperkaya bahtsul masail kebudayaan dan kesenian yang dapat memberikan jawaban atas persoalan-persoalan itu.
Kehadiran Lesbumi, dengan demikian, dapat memberikan alternatif baru dalam berkesenian dengan memberikan tempat bagi unsur keagamaan (Islam) setara dengan kebudayaan melalui sebuah ‘kontestasi’ seni budaya ketimbang sebuah ‘pertarungan politik’. Konteks sejarah ini yang membedakan wajah baru Lesbumi dengan masa awal kelahirannya pada dekade 1960-an. Sikap ‘tengah-tengah’ (moderat) tampaknya coba ditempuh oleh Lesbumi senada dengan garis ideologi Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang menjadi landasan sosial-keagamaan NU, organisasi induknya.

Kepustakaan
Choirotun Chisan. Lesbumi Strategi Politik Kebudayaan. Lkis. Yogyakarta : 2008
https://id.wikipedia.org/wiki/Lesbumi



[1] Yahyaayyash,  https://yahyaayyash.wordpress.com/2008/05/31/seni-dalam-islam/  diakses tanggal 20 April 2018, jam 00.30
[2] Ibid
[3] https://www.facebook.com/pg/anaksalemba49/photos/?tab=album&album_id=431278080345899
[4] Ibid
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Lesbumi
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Manusia Berpikir - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger