Film pendek Lintang Ayu
(2017) karya Rai Dwi Purnama
Dewi
merupakan mahasiswa jurusan Televisi dan Film di Institut Seni Indonesia
Denpasar Bali. Jenis filmnya fiksi dan bergenre drama. Tokoh utama dalam film
ini adalah Lintang Ayu perempuan kembang desa yang juga seorang penari,
Terkenal dengan penari terjegeg (cantik)
di desanya. Narasinya sederhana,
seorang kembang desa yang cantik dan pandai penari menjadi pusat perhatian
masyarakat desa, kemudian terjadi konflik eksternal dan internal sendiri pada
Lintang Ayu.
Dimulai dengan
menggunakan plot flashback sebuah cerita yang sesungguhnya terjadi di masa lalu
tetapi justru mulai diceritakan hari ini. Bermula dari seorang nini (nenek) mewariskan gelungan (sanggul) jogednya kepada sang
cucu, Gendis dan kemudian bercerita tentang masa lalunya. Pada awal flashback telah
diperlihatkan hubungan antara si kembang desa dengan seorang lelaki yang
dicintainya. Terjadi dialog antara Lintang Ayu dan Bagus yang menanyakan tentang kepulangan Bagus selanjutnya. Berlanjut
ke scene menampilkan lanskap kebudayaan Bali dimana perempuan dipagi hari
sembahyang dengan membawa canang (sesaji)
dan berdoa di pura sekitar. Lintang Ayu
mendapatkan cuitan dari lelaki sekitar sebelum pergi beribadah, datang Girang
setelah Lintang Ayu mau pergi, kemudian menanyakan dan mempermasalahkan
hubungan Lintang Ayu dengan Bagus, muncul tokoh Sekar yang melihat dengan
tampang kesal dari belakang pada saat Lintang Ayu dan Girang berbicara, bisa
dilihat ini adalah kecemburuan sosial terhadap tokoh yang terlihat sempurna
dimana orang lain berusaha untuk mencari kesalahan untuk menjelek-jelekannya.
Budaya Bali adalah budaya
patriarki, dimana lelaki menjadi otoritas utama yang sentral dalam segala
bentuk organisasi sosial, termasuk keluarga. Singkatnya, para lelaki Bali memiliki keunggulan
otoritas dalam berbagai bidang, seperti penentuan garis keturunan patrilineal
ekslusif, hak waris, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam
status publik, politik atau agama, dan lain-lain.[1] maka para orang tua memberikan perhatian
khusus di bidang pendidikan dan pengajaran kepada anak perempuan sejak kecil.
Tradisi turun temurun pada lingkungan keluarga Hindu misalnya seorang anak perempuan
harus lebih rajin dari anak lelaki. Ia bangun pagi lebih awal, menyapu halaman,
membersihkan piring, merebus air, menyediakan sarapan, mesaiban (persembahan
setelah makan) , memandikan adik-adik, dan yang terakhir barulah mengurus
dirinya sendiri. Ia harus pula bisa memasak nasi, mejejaitan (sarana
persembahyangan dari daun kelapa atau janur), mebebantenan (sarana
persembahayangan dari bauah-buahan), menjama
beraya (gotong royong), dan banyak lagi hal-hal yang berkaitan dengan
kegiatan adat dan agama.[2]
Datang kabar meninggalnya
Bagus membuat Lintang Ayu menjadi sangat tersiksa muncul konflik batin karena
dia bingung dengan keadaan yang hamil dan merasa tidak mendapat dukungan dari
orang tua. Lintang Ayu tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri karena dia
perempuan yang lemah di bawah kuasa ayahnya. Awal muncul konflik
sosial terhadap Lintang Ayu dengan masyarakat desa, dibawa oleh gosip yang disebar
oleh Girang temannya Lintang Ayu sendiri karena Girang menceritakan pada Sekar,
dari Sekar ini lah gosip tersebar menjalar ditambah dengan ibunya Sekar kemudian
menceritakan isu gosip yang tak sengaja di dengarnya pada saat selesai bekerja
disawah dan beristirahat . Tersebarna
gosip sehingga memunculkan stigma negatif pada Lintang Ayu. Menurunkan
marwahnya sebagai penari utama dalam joged bumbung yang akan dilaksanakan
setelah panen.[3]
Gosip ini merupakan alat politik Sekar nantinya.
Budaya gosip antara Perempuan
yang saling menggosip ini seakan budaya nya masyarakat Indonesia menembus batas
antara desa ataupun kota, tidak ada sekat-sekat pembatasan lagi perempuan desa
yang dikenal dengan perempuan berbudi luhur dan polos menjadi sama saja dengan
keadaan perempuan di perkotaan berkat pengaruh perkembangan teknologi informasi
dalam globalisasi dunia saat ini. Tidak bisa dinafikan juga pada saat
masyarakat nusantara saat itu sebelum datang dan datang kolonialisme bangsa
Eropa yang membawa budaya dan mempengaruhi budaya lokal dan pemikiran adat
istiadat itu sendiri.
Film ini menempatkan gambaran zaman di mana budaya bali masih sangat
kental dan
joged bumbung itu sangat terhormat. Sehingga para perempuan berebut untuk menjadi
penari utama dan perempuan
yang dapat menjadi penari utama akan merasa bangga.
Konflik puncak terjadi saat Sekar mengambil kesempatan untuk menjatuhkan
Lintang Ayu dengan mempermalukan
Lintang Ayu saat insiden perutnya
yang tersenggol pada saat menari dengan mengatakan joged beling (joged hamil). Hal ini membuat Lintang Ayu
menjadi sangat menderita dan memberikan
aib terbesar sehingga keluarganya mengusirnya.
Perkembangannya berbeda
dengan jaman sekarang dimana joged bumbung ini tidak lagi tari yang terhormat
dimana joged bumbung ini hanya dianggap tari erotis, dan mengobjektifikasi
perempuan dan tari joged bumbung itu sendiri dan kehilangan makna aslinya
sebagai tari hiburan dan pergaulan.
Film ini berakhir dengan
selesainya flashback, dimana sang nenek yaitu Lintang Ayu yang mengajarkan cucu
nya Gendis menari joged bumbung menggambarkan regenerasi kesenian pada
keturunan. Dapat di tangkap ini merupakan upaya pembuat film untuk menunjukkan dedikasi
seorang seniman dimana walaupun seorang seniman mendapat suatu masalah yang
besar dalam hidupnya, tidak menghentikan dirinya untuk terus berkarya dalam berkesenian
khususnya seni tari joged bumbung itu sendiri. Ditemukan oleh Meguel Covarrubias
Antropolog Asal Meksiko dalam bukunya Island of Bali mengatakan bahwa hampir
setiap manusia Bali itu adalah seniman. Dengan demikian ditengah kehidupan masyarakat Bali pada
umumnya, hasrat berkesenian tumbuh dan berkembang walaupun di terpah zaman.
[1] http://lalitakeswara.blogspot.com/2017/03/perempuan-bali-sulitnya-menjadi.html
diakses tgl 2 November 2018 jam 08.00
[2] https://www.mediahindu.com/pemikiran/wanita-dalam-pandangan-hindu.html
diaksesk tgl 2 November 2018 jam 08.27
[3] Joged bumbung
adalah tari hiburan dan merupakan tari pergaulan yang dilakukan dalam sebuah perayaan seperti panen, acara
pernikahan, upacara syukuran dll. Dilihat dari perspketif sejarah Joged Bumbung
yang diperkirakan muncul di daerah Bali Utara (Buleleng) pada tahun 1946. Mengikuti
pengklasifikasian tari menurut zamannya (Puspasari Seni Tari Bali oleh Prof. I
Wayan Dibia), berarti tari Joged Bumbung merupakan sebuah tari pergaulan yang
tergolong berkembang di zaman modern atau lebih dikenal dengan nama zaman Bali
baru. Zaman ini menurut Bapak I Wayan Dibia berlangsung sejak jatuhnya Bali ke
tangan Belanda, yakni dari awal abad ke-20 (1908) hingga sekarang. Sehingga dapat ditarik
benang merah, bahwa dari sinilah terjadinya akulturasi budaya dengan masuknya
pengaruh budaya Barat yang cenderung lebih mengungkapkan keluwesan dan
kebebasan dalam berekspresi, tanpa menghilangkan kebudayaan aslinya.
Posting Komentar